Iklim reformasi ternyata membawa angin segar untuk membongkar kebrobokan yang dibangun oleh Orde Baru
di semua bidang, termasuk juga di lingkungan TNI dan Polri. Padahal kedua institusi tersebut sebelumnya
dikenal 'kebal' untuk diungkap bila ada kasus. Buktinya sejak reformasi bergulir sejumlah kasus
penyimpangan yang dilakukan kedua lembaga itu bisa terungkap. Dan kasus terakhir, dugaan penyelewengan
Rp 36 miliar di kesatuan Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) menjadi bukti bahwa
TNI mulai membuka diri.
Bisakah kasus ini ditindaklanjuti? Benarkah kasus ini bersifat politis?
-----
Keberanian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tengah melakukan audit dana-dana yang dihabiskan semua
departemen termasuk Mabes TNI dan kesatuan-kesatuan di bawahnya, patut diacungi jempol. Bagaimana tidak,
lembaga yang seharusnya mempunyai otoritas penuh untuk melakukan audit di semua lembaga publik tanpa
terkecuali ini, tidak bisa berbuat banyak apabila berhadapan dengan institusi militer.
Berhasil diauditnya belanja TNI selama tahun 1998 dan 1999 sebesar Rp 1,34 triliun untuk menanggulangi
kerusuhan sejak Mei 1998, menjadi langkah awal yang cukup menggembirakan. Dan yang cukup menggembirakan,
BPK juga mulai membongkar satu per satu penyimpangan penggunaan anggaran di lingkungan TNI. Salah satunya
yang masih santer dibicarakan adalah dugaan adanya penyelewengan penggunaan dana di lingkungan Kostrad,
yang diperkirakan mencapai Rp 38 miliar.
Langkah maju yang telah dilakukan BPK ini cukup melegakan. Maka tujuan transparansi dan akuntabilitas,
BPK pun memang dituntut melakukan audit yayasan-yayasan milik TNI/Polri. Pasalnya di masa Orde Baru
yayasan-yayasan milik ABRI/TNI pantang untuk diselidiki. Jangkankan diaudit, sekadar dipertanyakan pun
seperti "haram" hukumnya.
Audit 8 Yayasan TNI/Polri
Bahkan informasi yang sempat dihimpun oleh OPOSiSI, langkah audit dan pemeriksaan terhadap yayasan-
yayasan Dephan dan TNI sedang dilakukan secara intensif. Yang sudah dinilai (audit) dari Dephan adalah
Mabes TNI dan Polri, sejak dua minggu yang lalu. Pada tahap awal BPK sedang mengaudit delapan yayasan,
masing-masing yayasan milik Mabes TNI AD, TNI AL, TNI, AU, Mabes Polri, yayasan Kostrad dan Kopassus,
serta dua yayasan milik Dephan.
Hal ini dibenarkan oleh salah satu Anggota BPK I Gde Artjana. Menurut mantan ketua Komisi IX/APBN ini,
BPK tengah meneliti data di lapangan, termasuk akta pendirian, pola pengambilan keputusan, kepengurusan,
aliran dana dan bagaimana dana yayasan diperoleh maupun neracanya. Dari temuan awal, yayasan TNI/Polri
umumnya memiliki badan usaha. Tapi, ada juga yang tidak. Menariknya, satu yayasan banyak yang memiliki
sejumlah badan usaha. Jenis badan usahanya bermacam-macam. Mulai bidang perdagangan, industri, sampai
jasa. "Jumlah yayasannya tak banyak. Yang banyak justru badan usahanya," tegas Artjana.
Sesuai undang-undang, jika ditemukan penyimpangan, BPK akan memberikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti.
Semua hasil audit itu, selanjutnya diserahkan ke DPR. Setelah itu baru DPR meminta eksekutif melakukan
proses hukum jika ditemukan unsur pidana dan korupsi. BPK menyadari yayasan-yayasan milik TNI/Polri, di
masa lalu sangat angker dan sulit dijamah siapa pun. Tapi, selama pemeriksaan, BPK menilai pihak Dephan,
TNI, dan Polri cukup kooperatif. "Mereka cukup terbuka dan transparan apalagi sudah ada pernyataan dari
Menhan agar dana yayasan diaudit," katanya.
Langkah audit dan diduga telah adanya penyimpangan ternyata juga didukung oleh petinggi di lingkungan
TNI sendiri. Buktinya Pangkostrad Letjen TNI Agus Wirahadikusumah, mengakui, ada penyelewengan atau
ketidakwajaran dalam penggunaan dana Yayasan Dharma Putra Kostrad yang memiliki aset senilai Rp 189
miliar. Sinyalemen Pangkostrad dinyatakan sendiri saat meninjau Institusi Tuna Tertib Militer (dulu
Rumah Tahanan Militer) di Cimanggis, Bogor, Kamis (13/7). Sudah barang tentu hal ini akan menepis
anggapan bahwa militer enggan membuka diri terhadap masalah KKN.
Bahkan Agus yang mengaku belum tahu pasti jumlah anggaran yang diselewengkan ini, juga tidak membantah
bahwa sejak dulu banyak pihak yang memanfaatkan dana yayasan yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan prajurit itu, dan audit yang dilakukan baru-baru ini membuktikannya.
Tidak itu saja, Pangkostrad yang dikelompokkan sebagai perwira reformis itu menyatakan, tidak akan
menutup-nutupi penyelewengan dana tersebut dan ia pun kini berusaha untuk membenahi manajemen yayasan
yang dianggapnya "amburadul" itu. Dikatakannya, apa yang dilakukan adalah satu bentuk kesadaran terhadap
tuntutan saat ini, yakni menyangkut akuntabilitas publik, sehingga seluruh dana dan aset yang dimiliki
yayasan harus dipertanggungjawabkan secara transparan. "Jangan menutup-nutupi segala sesuatu.
Memangnya perusahaan atau kesatuan ini punya dia. Ini punya rakyat, punya bangsa, harus dipertanggung-
jawabkan," katanya.
Bongkar Kroni Cendana
Kronologi dugaan penyimpangan penggunaan anggaran yayasan milik Kostrad ini juga cukup unik. Informasi
yang sempat dihimpun oleh OPOSiSI, terbongkarnya skandal ini tidak lain dari lingkungan Kostrad sendiri.
Di mana selain diindikasikan ada 'perang' kepentingan politik, juga ditengarai ada pihak-pihak yang
tidak puas dengan pembagian 'jatah' yang tidak seimbang dari hasil yang diperoleh yayasan milik Kostrad.
Namun banyak juga tudingan, bahwa usaha pembongkaran penyimpangan itu tidak lain untuk membersihkan
campur tangan kroni-kroni Cendana, yang memang masih mengakar kuat di yayasan yang didirikan oleh
Soeharto pada awal Orde Baru itu. Namun menurut Agus Wirahadikusuma, yang menceritakan secara blak-
belakan awal mula terungkapnya skandal penyelewengan keuangan itu, tidak lain ingin menciptakan iklim
yang bersih di institusi yang dipimpinnya.
Setelah menerima tongkat komando (sertijab) Pangkostrad dari Letjen TNI Djadja Suparman, Agus menerima
laporan pertanggungjawaban dari semua pihak, termasuk keuangan. Karena tidak mengerti masalah keuangan
dan tidak mempunyai waktu untuk mempelajari sekian banyak penggunaan anggaran, Agus kemudian berinisiatif
mengundang akuntan publik. Hasilnya, ditemukanlah begitu banyak indikasi penyimpangan.
Ternyata gayung bersambut. Temuan itu juga didukung hasil audit dari BPK. Penyimpangan itu terjadi,
katanya, karena kebiasaan. Ini lantas membentuk kultur atau sistem yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
"Maksudnya, seorang pejabat dalam menggunakan wewenangnya kemudian bertindak melampaui hak-hak dan
kewenangan sebagai seorang pengambil keputusan," paparnya.
Mengenai jumlah penyimpangan sendiri ternyata juga masih kontroversi. Informasi setengah resmi yang
telah beredar jumlah penyimpangan yang telah digunakan oleh pejabat sebelumnya sebesar Rp 38 miliar.
Namun rumor yang berdar di lingkungan AD menyebutkan, penyelewengan di Kostrad sebenarnya jauh dari
jumlah itu. Bahkan ada yang mengklaim lebih Rp 160 miliar.
Dana itu diambil dari dua tempat, yaitu
Yayasan Dharma Putra dan Mandala Airlines. Dari Dharma Putra sebesar 38 miliar dan selebihnya dari
Mandala. Bahkan tidak menutup kemungkinan jumlah Rp 160 miliar itu bisa membengkak lagi. Lebih ekstrim
lagi, rumor yang berkembang penyimpangan tenggang waktu pengambilan uang milik Kostrad itu tidak sampai
empat bulan. Sehingga apabila dikalkulasi dengan masa-masa sebelumnya, indikasi penyimpangan itu
jumlahnya jauh lebih besar.
Informasi yang sempat dihimpun OPOSiSI, penyimpangan itu terjadi pada beberapa sumber daya keuangan dan
badan-badan usaha di Kostrad. Sumber itu antara lain ada dana abadi dan enam badan usaha. Sebenarnya,
jelas, dana abadi itu boleh dimanfaatkan. Syaratnya, yang dimanfaatkan hanya bunganya. Ternyata, yang
diambil malah dana abadinya. Akibatnya dana abadinya sekarang berkurang banyak.
Bukti Resmi
Melihat dugaan peyimpangan itu cukup krusial dan menyangkut masalah akuntan publik, maka banyak kalangan
yang meminta agar ada pembuktian resmi. Bukan hanya sekadar sinyalemen-sinyalemen semata. Pasalnya
kalau hanya berkutat dalam masalah sinyalemen ada kekhawatiran kasus itu akan mengendap dan tidak ada
tindak lanjutnya. Wajar kalau kemudian anggota Dewan dari Komisi I DPR RI Aisyah Amini dan Yasril
Ananta Baharuddin, minta segera dilakukan penyidikan dan pembuktian. Selain BPK diharapkan Inspektorat
Kostrad segera melakukan audit dan pemeriksaan di lingkungan Kostrad untuk membuktikan bahwa sinyalemen
itu benar. "Sehingga kalau benar adanya, maka dapat dilakukan proses hukum," tegas Aisyah Amini.
Tuntutan dari anggota dewan itu ternyata direspon positif. Buktinya, dalam minggu-minggu terakhir ini
BPK dan Inspektorat Kostrad sedang melakukan pemeriksaan, bahkan Inspektorat TNI-AD juga akan diturunkan
untuk memeriksa kasus ini. Diharapkan pekan akhir minggu ini sudah tuntas, sehingga tingkat penyimpangan
tersebut diketahui untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh BPK sesuai kesepakatan Menteri Pertahanan
(Menhan) Juwono Sudarsono.
Dalam pemeriksaan yang meliputi periode tahun anggaran 2000 itu, sejumlah pihak yang terkait akan
dimintai klarifikasi dan konfirmasi. Buktinya, Inspektur Jenderal TNI AD (Irjenad) Mayjen Djoko
Soebroto telah datang ke Markas Kostrad Jakarta, Senin (17/7). Namun sejauh ini, Djoko Saebroto yang
saat itu didampingi sejumlah auditor, menolak mengungkapkan apa saja yang sudah dilakukan oleh Irjenad.
Langkah pemeriksaan itu ternyata didukung sepenuhnya oleh Agus Wirahadikusuma. Bahkan dia akan memberikan
bantuan seutuhnya. Tentang periode dana yayasan yang diaudit, Agus yang dimintai keterangan setelah
kedatangan Irjenad itu mengatakan, "Kita tidak usah terlalu jauh ke belakanglah. Dalam proses reformasi
ini kita kan ingin konsolidasi, ingin mengembalikan penyimpangan pada track."
Saat ditanya apakah ia sempat bertemu dengan Panglima Kostrad sebelumnya soal dugaan penyimpangan ini,
Agus mengatakan, "Tentu saja saya melakukan klarifikasi dengan pejabat-pejabat yang terkait dengan
masalah ini." Tentang tindakan apa yang akan diambil, Agus mengatakan, jika terbukti telah terjadi
manipulasi dan korupsi akan diajukan ke Mahkamah Militer dan kemungkinan juga akan dikenai sanksi
administratif oleh Panglima TNI, Laksamana TNI Widodo AS. ****