Silahkan Logo PDI-P di-klik
Krisis dan Solusi Tragedi Maluku Utara
Penulis: Thamrin Amal Tomagola *
detikcom - I. AWAL MULA PERTIKAIAN
Tragedi Maluku Utara berawal mula pada saat ketentuan dari PP No 42/99
tentang pembentukan kecamatan Malifut dilaksanakan di lapangan. Kecamatan
baru yang seyogyanya diresmikan pada hari itu terdiri dari 16 desa suku
Makian pendatang yang beragama Islam, 5 desa suku asli Kao yang mayoritas
Kristen dan 6 desa asli suku Jailolo yang juga mayoritas beragama Kristen.
Baik penduduk asli 5 desa Kao maupun penduduk asli 6 desa Jailolo menolak
untuk bergabung dalam kecamatan baru yang mau diresmikan itu sebab mereka
jelas akan merupakan minoritas dalam 27 desa yang membentuk kecamatan
Malifut. karena penolakan ini, peresmian kecamatan baru ini menjadi
tertunda.
Penundaan ini membuat masyarakat suku Makian pendatang di Malifut maupun
yang bermukim di kota Ternate menjadi cemas. Kecemasan ini disebabkan oleh
di satu pihak adanya kenyataan terkatung-katungnya status wilayah mereka,
dan di lain pihak, sebagai pihak yang akan menjadi mayoritas dalam
kecamatan baru mereka tentu saja ingin PP 42/99 segera direalisasi. Dan,
pada tanggal 14 Agustus 1999 mahasiswa suku Makian-Kayoa yang bergabung
dalam HIPMA MAKAYOA melakukan demonstrasi di depan Kantor Pemda. Kecemasan
para mahasiswa Makayoa ini berhasil ditenangkan dalam pertemuan kesepakatan
keesokan harinya.
Pada hari Rabu tanggal 18 Agustus 1999 pecah pertikaian di calon kecamatan
Malifut untuk pertama-kalinya yang dipicu oleh perkelahian anak-anak muda
dari kedua suku yang bertikai. Saling serang rnenyerang terus, berlanjut>
hingga tanggal 20 Agustus 1999. Pada tanggal 21 Agustus 1999, aparat
keamanan - polisi dan tentara - diturunkan ke lokasi pertikaian
bersama-sama dengan
Muspida dan Sultan Ternate. Para pengungsi suku Makian-Malifut mulai
mengalir ke Ternate dan Tidore sejak 20 Agustus 1999. Arus pengungsi
Makian-Malifut ini terus mengafir ke Temate hingga tanggal 25 Agustus 1999.
II. GELOMBANG PERTIKAIAN
Tragedi kemanusiaan di Maluku Utara sejauh ini telah berlangsung dalam dua
gelombang. Gelombang I berlasung hanya di Kecamatan Malifut dari tanggal 15
Agustus sampai dengan 20 Agustus 1999. Dalam peristiwa ini telah jatuh
korban manusia maupun harta benda di kedua belah pihak.
Kerusuhan ini berhasil dipadamkam berkat kerjasama Pemda tingkat II, para
tokoh masyerakat dan Sultan Ternate. Penyelesaian yang dilakukan hanya
sebatas penghentian portikaian tanpa menyentuh dan menyelesaikan akar
permasalahan.
Akar permasalahan dibiarkan terkatung-katung, karena seluruh jajaran Pemda
Maluku Utara dan sebagian besar tokoh masyarakat dan rakyat umumnya
kemudian terserap perhatian, tenaga dan pikiran mereka ke proses pemekaran
Propinsi Maluku Utara yang kemudian secara resmi berdiri pada tanggal 16
September 1999.
Gelombang II tragedi Maluku Utara pecah pada tanggal 24 Oktober 1999, di
hari minggu pagi, dan masih terus berlangsung hingga hari ini. Skala
kerusakan dari Gelombang II ini jauh lebih besar dan dahsyat dari Gelombang
I baik dalam ukuran kerusakan fisik/material, 16 desa suku Makian Pendatang
diratakan dengan tanah, kebun cengkeh dan kelapa dibabat oleh penyerang
suku Kao, Jailolo dan Tobelo. Masjid-masjid tidak dibakar hanya Quran
dikeluarkan dari dalam mesjid dan diletakkan dijalan raya. Korban manusia
yang luka-luka dan meninggal berpuluh-puluh orang. Seluruh suku Makian
pendatang dari 16 desa melarikan diri keluar dari kecamatan Malifut dengan
hanya berpakaian di badan saja.
Sebanyak 16.000 pengungsi kemudian ditolong oleh Pemda dan aparat keamanan
untuk diungsikan ke Ternate dan Tidore. Di Ternate mereka ditempatkan di
tempat-tempat penampungan di Ternate Selatan yakni daerah pelabuhan, pusat
kegiatan perdagangan dan pemerintahan dan pada umumnya dihuni oleh para
pendatang dari berbagai suku, dan ras dan beragam agama.
Wilayah Ternate Selatan adalah wilayah majemuk dengan tingkat pendidikan
yang relatif tinggi, Sebaliknya wilayah Ternate Utara relatif homogen
penduduk asli suku Ternate dengan tingkat pandidikan yang relatif rendah.
Di Ternate Utara terdapat lapangan terbang Sultan Banau dan Universitas
Sultan Chairun. Daerah Ternate Utara adalah daerah Adat Sultan Ternate.
Sebagian dari para pengungsi suku Makian Malifut kemudian ada yang
melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap rumah-rumah ummat Kristen dan
gereja mereka tanpa membedakan suku dari ummat Kristen itu. Sebagian besar
dari rumah-rumah ummat Kristen di Ternate yang dirusak adalah rumah-rumah
yang sudah kosong ditinggal pergi o1eh para penghuninya.
Para penghuni mengungsi ke Kantor Polres Ternate, asrama Tentara, Keraton
Sultan Ternate dan sebagian besar memilih mengungsi ke Manado dan Bitung
dengan menggunakan kapal laut dan pesawat terbang. Jumlah yang mayoritas
ummat kristen yang mengungsi ke Sulawesi Utara ini sekarang berjumlah
kurang-lebih 12.000 jiwa.
Di Tidore juga terjadi tindak kekerasan terhadap ummat Kristen. Seorang
pendeta dibunuh dan beberapa lainnya luka berat, Sultan Tidore berhasil
dengan sigap melerai dan melindungi ummat Kristen yang terancam. Mereka
kemudian banyak yang mengungsi ke Manado.
Ketiga Sultan yang ada di Maluku Utara, yaitu: Sultan Ternate, Sultan
Tidore dan Sultan Bacan telah banyak berjasa dalam ponghentian kekerasan
pada tahap awal terhadap ummat Kristen Maluku Utara.
Sultan Ternate secara khusus mengerahkan Pasukan Adat untuk tujuan
tersebut. Kehadiran Pasukan Adat Sultan Ternate pada tahap awal memang
sangat membantu pada saat aparat Negara, baik polisi maupun tentara Yon 732
hampir tidak berfungsi. Akan tetapi pada tahap selanjutnva Pasukan Adat
Sultan Temate ini kemudian mengambilalih fungsi pengamanan dalam kota
Ternate senuhnya ke tangan mereka.
Aparat keamanan kelihatannya tidak berkeberatan atas kenyataan tersebut.
Pasukan Adat Sultan Ternate kemudian bertindak arogan di jalan-jalan kota
Ternate dengan melakukan sweeping secara berkala terhadap warga kota. Lebih
jauh, Pasukan Adat Sultan Ternate dengan bantuan organisasi sayap pemuda
yang bernama Generasi Muda Sultan Babullah (GEMUSBA) menyusun suatu Daftar
Hitam yang berisi kurang-lebih seratus namsa tokoh masyarakat suku
Makian-Kayoa dan Tidore, yang beragama Islam, untuk diciduk oleh pasukan
adat Sultan Ternate, Rentetan penculikan, sejauh ini telah ada 10 orang
Makian yang diculik.
Setelah ditahan beberapa lama, korban penculikan ini sekarang sudah
dilepaskan. Aksi penculikan itu sekarang telah berhenti setelah dua kasus
penculikan (atas Sdr. 1mran Jurnadil dan Sdr. Ishal Latif) diungkap di
media elektronik nasional dan dilaporkan ke Meneg HAM dan KOMNAS HAM,
-Rentetan penculikan dan penganiayaan ini bukan saja dibiarkan oleh aparat
polisi dan tentara tetapi juga difasilitasi dan dibantu oleh kedua kesatuan
ini.
III. KONDISI TERAKHIR
Kondisi terakhir di Maluku Utera cukup menggembirakan karena telah
meredanya pertikaian di Ternate, Tidore dan Malifut sendiri. Walaupun
demikian perlu diketahui bahwa sampai hari ini masih terjadi gerakan saling
serang menyerang antara ummat Kristen dan Islam di Halmehara Tengah dan
Selatan, yaitu di kecamatan-kecamatan, Gane Barat, Gane Timur, Obi dan
Payihe.
Korban terus berjatuhan baik yang meninggal maupun yang luka-luka. Sebagian
besar, 7000 jiwa, dari ummat Kristen dari daerah-daerah ini telah mengungsi
ke wilayah Tobelo, Halmahera Utara, yang merupakan pusat Pimpinan Gereja
Masehi Injili Halmahera (GMIH).
Dengan demikian, lokasi pertikaian yang perlu untuk dicermati adalah,
pertama, di keempat kecamatan tersebut diatas di Halmahera Tengah, kedua,
kecamtan Tobelo dan Galela di Halmahera Utara Yang sedang diliputi suasana
aman mencengicam, serta ketiga, kota Ternate yang masih diliputi suasana
teror.
Pasukan Adat Sultan Ternate masih berpatroli dalam kota, dalam jumlah yang
bervariasi dari paling sedikit 5 orang sampai paling baryak 30 orang,
walaupun pihak Kepolisian R1 telah mendatangkan dua batalyon Brimob. Perlu
dikemukakan bahwa kedua Batalyon Brimob bertindak cukup proporsional,
profesional dan netral atas semua pihak yang bertikai di Ternate.
Kualitas pasukan seperti inilah yang dibutuhkan di Maluku Utara khususnya,
Maluku pada umumnya. Warga Ternate, baik di Ternate Utara maupun di Ternate
Selatau, masih terus diliputi ketakutan dan hidup dalam teror dari pasukan
adat Sultan Ternate. Atmosfer teror dan ketakutan ini terutama dialami oleh
suku Makian Kayoa dan Tidore yang bermukim di Ternate Selatan.
Muncul suatu situasi yang memprihatinkan, yaitu dua suku yang sama-sama,
beragama Islam berhadap hadapan dalam suasana, konfrontatif dalam kota
Ternate. Masing-masing pihak menguasai wilayah yang berbeda. Pasukan Adat
Sultan Ternate menguasai Ternate Utara sedangkan Suku Makian-Kayoa dan
Tidore menguasai Ternate Selatan.
Pada saat ini sesungguhnya terdapat tiga kelompok pengungsi. Kelompok
Pengungsi I terdiri dari saku Makian Malifut pendatang yang beragama Islam
dan berjumlah 16,000 jiwa yang sekarang tersebar di Pulau Ternate Selatan,
Tidore dan Makian.
Kelompok pengungsi II terdiri dari ummat Kristen suku Manado,
Sangir-Talaud, Ambon dan lainnya yang ditampung di Bitung dan Manado yang
berjumlah kurang-lebih 12.000 jiwa. Ibu wakil Presiden Megawati Soekarno
Puteri dalam kunjungannya minggu lalu ke Maluku dan Sulawesi Utara hanya
mengunjungi dan memberi bantuan pada pengungsi ummat Kristen di Sulawesi
Utara ini. Dan akhirnya, Kelompok Pengungsi III terdiri dari para pengungsi
Kristen dari Halmahera Tengah yang sekarang ditampung di Tobelo sebanyak 7
000 jiwa.
Keadaan para pengungsi dari ketiga kelompok yang telah di sebut, yaitu
kelompok I di Bitung-Manado, Kelompok II di Ternate, Tidore dan Makian
serta Kelompok III di Tobelo sebagian besar masih dalam keadaan yang
memprihatinkan dengan gradasi yang berbeda-beda. Kelompok pengungsi Kristen
di Bitung-Manado relatif lebih terurus dan berkecukupan dibandingkan dengan
kelompok pengungsi Muslim Malkian Ma1ifut maupun kelompok pengungsi Kristen
di Tobelo, Halmahera Utara. Selain hidup dalam serba keterbatasan fisik
material, para, pengungsi juga mulai menderita tekanan psikologis.
ANATOMI PERMASALAHAN
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, secara geografis lokasi Pertikaian
ada di tiga tempat, yaitu di Halmahera - Tengah dan Selatan, di Halmahera
Utara dan di kota Ternate sendiri. Akar permasalahan dari tragedi Maluku
Utara ada di kecamatan Malifut, lokasi awal kerusuban gelombang I.
Daerah-daerah lain adalah daerah imbas dari permasalahan pokok di kecamatan Malifut.
Tiga Sebab Utama Tragedi Maluku Utara
Pertama Perebutan Wilayah Agama
Persaiangan perebutan wilayah agama - antara agama Islam dan Kristen - di
Maluku Utara telah berlangsung lebih dari 127 tahun sejak Missi Kristen
untuk pertama-kalinya menginjakkan kaki di Tobelo, Halmahera Utara. Dapat
dikatakan bahwa wilayah Halmahera Utara, kecuali kecamatan Galela yang
mayoritas Islam, adalah wilayah ummat Kristen. Wilayah ummat Kristen ini
jatuh sama dengan wilayah kesultanan Ternate.
Pada tahun 1975, gunung Makian meletus dan berdasarkan ramalan para pakar
gunung api ia akan meletus lebih dabsyat lagi, maka pulau tersebut harus
dikosongkan. Suku Makian yang terdiri dari 16 desa di pulau Makian kemudian
melakukan bedol-pulau dan dimukimkan di daerah yang sekarang dikenal dengan
nama Malifut - dekat tanah-Senting Bobaneigo - (lihat peta) yang merupakan
bagian terselatan dari Halmahera Utara, pihak Kristen merasa gerak ekspansi
mereka ke arah Halmahera Tengah dan Selatan disumbat.
Selama 24 tahuan, status pemukiman baru yang terdiri dari 27 desa ini
dibiarkan terkatung-katung oleh Pemda Tkt II Maluku Utara. Selama waktu
sama telah terjadi pertikaian-pertikaian kecil - berupa pembabatan kebon
singkong, cengkeh dan kelapa milik pedatang suku Makian terus terjadi dari
waktu ke waktu. Pembabatan kebon milik pendatang dilakukan penduduk asli
yang cemburu dengan keberhasilan material para pendatang. Para pendatang
suku Makian yang terkenal ulet-gigih sukses mecapai tingkat kesejahteraan
yang jauh lebih baik dari penduduk asli Kao dan Jailoto. Kocemburuan sosial
antara penduduk asli terhadap penduduk pendatang yang jatuh sama dengan
perbedaan suku dan agama, mulai menggumpal dan menumpuk secara
perlahan-laban.
Kedua, Perebutan Tambang Emas di Malifut
kesenjangan sosial-ekonomi antara kedua kelompok yang tumpang-tindih dengan
batas-batas sentimen agama dan suku ini kemudian diperparah dengan
ditemukan dan kemudian diexploitir nya Tambang emas di wilayah calon
kecamatan malifut secara kebetulan, tambang emas ini terletak di desa-desa
penduduk asli Kao. Karena itu, penolakan pihak penduduk asli atas PP 42/99
selain dilatar-belakangi oleh perimbangan kuantitas antar ummat beragama,
juga didorong oleh keinginan untuk memonopoli berkah tambang emas
Bagi pemerintah kecamatan Kao jelas berkah tambang emas dapat mendongkrak
pendapatan asli daerah. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Camat Kao -
Yang notabene beragama Islam - justru memimpin penyerangan suku Kao yang
mayoritas Kristen atas suku Makian pendatang yang beragama Islam.
Ketiga, Perebutan Kursi Gubernur Maluku Utara
Soal perebutan kursi gubernu ini dilatar-belakangi oleh sejarah persaingan
hegemoni antara kesultanan Ternate di satu pihak dengan kesultanan Tidore
dan Bacan di lain pihak. Masing-masing, kesultanan ini didukung oleh
suku-suku yang berbeda, Sultan Ternate secara terbuka telah menyatakan
minatnya untuk menjadi Gubernur Maluku Utara.
Selain Sultan Ternate, ada dua calon lain, yaitu Drs Bahar Andili yang
sekarang menjadi Bupati Halmahera Tengah, dan Drs Thaib Armain dari suku
Makian yang sekarang menjabat sebagai SekWilda Tkt I Maluku Utara. Sultan
Ternate didukung oleh suku Ternate Utara yang beragama Islam dan suku-suku
di Halmahera Utara yang beragama Kristen di satu pihak berhadapan dengan
calon kuat drs, Thaib Armain yang didukung oleh suku-suku Makian-Kayoa dan
Tidore.
Sultan Ternate secara cerdik mengambil keuntungan dari konflik Maluku Utara
dengan tampil sebab pembela dan pahlawan dari ummat Kristen 7 baik yan
sekarang mengungsi di Bitung-Manado maupun yang ditampung di Tobelo dan
samasekali tidak memberi perhatian pada pengungai ummat Islam suku Makian
pendatang yang tersebar di pulau-pulau Ternate, TidoTe dan Makian. Kelompok
pengungsi yang terakhir ini menjadi pengungsi yang dilupakan (The Forgotten
Refugees).
V. USULAN SOLUSI
Dalam setiap penyelesaian konflik - apakah itu konflik vertikal maupun yang
horizontal penegakan keadilan yang pada akhirnya akan membuahkan win-win
solution, adalah prinsip dasar yang harus ditegakkan, prinsip ini merupakan
prinsip pertama dan utama,
Prinsip penyelesaian pertikaian yang kedua adalab bahwa baik pemerintah
pusat dan daerah hanya berusaha memfasilitasi upaya penghentian pertikaian
dan pemulihan keadaan, utamanya dari segi kemanan. Pada akhirnya,
masyarskat Maluku Utara lah yang harus menyelesaikan masalah mereka
sendiri.
Langkah-langkah konkret solusi atas tragedi Maluku Utara yang diusulkan
berikut ini bertolak dari prinsip dasar ini. Usulan solusi ini dibagi dalam
tiga bagian, yaitu : jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Solusi Jangka Pendek
Langkah-langkah solusi jangka pendek adalah hal-hal yang perlu dilakukan
o1eh Pemerintah.
1. Kunjungan pimpinan Negara ke Maluku Utara
Kunjungan ini telah dilakukan oleh Ibu Megawati Soekarno Puteri. Kunjungan
ini secara simbolik sangat bermakna karena kunjungan itu sekaligus
mengirimkan dua pesan utama, yaitu : pertama, bahwa pemerintah pusat tidak
menganaktirikan wilayah Maluku Utara, dan kedua, bahwa Dwi-Tunggal Gus Dur
dan Megawati adalah simbol rekonsiliasi antara dua ummat yang bertikai di
sana.
Bola perdamaian itu te1ah berhasil digulirkan oleh kunjungan pimpinan
Negara ke Maluku umumnya, Maluku Utara kbususnya. Sayangnya, kunjungan Ibu
Mega ini hanya sebatas Bandara saja dan samasekali tidak membuka dialog
dengan warga yang menyambut di Bandara Sultan Banau.
Kekecewaan ini semakin diperbesar oleh kenyataan bahwa 1bu Wakil Presiden
hanya mengunjungi dan memberi bantuan kepada kelompok pengungsi di Bitung
Manado yang mayoritas beragama Kristen dan sama sekali tidak meluangkan
waktu untuk mengunjungi apalagi memberi bantuan kepada, kelompok pengungsi
Makian yang beragarna Islam.
Bantuan yang telah diberikan kepada pengungsi di Manado adalah suatu hal
yang terpuji. Tindakan (gesture) ini akan semakin terpuji bila 1bu Wakil
Presiden juga memberi bantuan kepada kelompok pengungsi yang lain, baik
yang ada di Ternate, Tidore dan Makian maupun yang ditampung di Tobelo.
2. Penyegaran satuan aparat keamanan
Karena baik Kapolres maupun Dandim Maluku Utara telah berpihak ke satu
kekutan politik tertentu maka keduanya perlu segera diganti. Demikian juga
pasukan mereka yang sudah lebih dari enam bulan bertugas di sana, perlu
disegarkan. Kedatangan dua batalyon Brimob telah sangat banyak membantu
keadaan. Kualitas pasukan seperti inilah yang perlu diperbanyak.
3. Tindakan tegas aparat penegak hukum dan keamanan
Aparat penegak hukum dan kemanan harus secara lugas melucuti siapa saja
yang membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Bila melawan dilumpuhkan
dengan tangan kosong, Kota Ternate harus segera dibersihkan dari Pasukan
Adat Sultan Ternate untuk menegakkan wibawa negara RI. Keberadaan pasukan
adat ini hanya menjamin keamanan suku Ternate Utara dan pedagang-pedagang
Cina, sedangkan suku-suku lain dalam kota Ternate, terutama suku
Makian-Kayoa dan Tidore, merasa terancam. Kesan adanya negara kerajaan
dalam negara kesatuan RI harus dihapuskan.
4. Rehabilitasi fisik-material dan mental
Perlu segera dibangun kembali rumah penduduk dan rumah ibadah serta falitas
umumn lainnya, seperti sekolah dan Puskesmas baik di Malifut untuk suku
Makian, maupun di kecamatan-kecamatan Gane Barat dan Timur serta keeamatan
Obi, Payahe dan di Ternate dan Tidore milik ummat Kristen.
Bila yang disebut terakhir ini menolak untuk kembali ke Ternate dan Tidore,
maka perlu ditampung di tempat lain yang aman seperti lokasi transmigrasi
baru.
Kepada semua kelompok pengungsi perlu diberikan kompensasi atas kerugian
harta benda yang telah dialami. Kompensasi ini perlu diberikan secara adil
sesuai dengan kebutuhan kepada kedua ummat beragama yang bertikai.
Pemulihan keadaan normal, terutama untuk proses belajar dari anak-anak
sekolah dan mahasiswa segera perlu diusahakan semaksimal mungkin.
Pendampingan psikologis-mental bagi para pengungsi yang membutuhkan,
terutama perempuan dan anak-anak segera dilakukan.
Solusi Jangka Menengah
Langkah-langkah solusi jangka menengah adalah hal-hal yang perlu dilakukan
oleh masyarakat Maluku Utara, baik yang bermukim di sana maupun yang
bermiukim di luar Maluku Utara, terutama yang bermukim di Jakarta.
1. Memfasilitasi pertemuan suku-Makian-Malifut dengan suku Kao + Jailolo.
HIKMU (Himpunan Keluarga Maluku Utara di Jakarta) perlu segera mengambil
prakarsa untuk menfasilitasi dialog tatap-muka antara kedua suku yang
bartikai itu. Dialog dapat diselenggarakan di suatu tempat yang netral yang
diterima oleh kedua belah pihak.
2. Menata kembali tata-kelembagaan dialog antar iman
Tata kelembagaan dialog antar iman dan keharmonisan antar iman tidak
sehancur di Ambon. Karena itu, besar sekali harapan untuk menatanya
kembali. Lembaga lembaga agama lokal dengan difasilitasi oleh pihak
Universitas lokal dapat mengambil prakarsa ini.
3. Aktualisasi dari relevansi lembaga adat
Lembaga-lembaga adat perlu direaktualisasikan untuk menjawab tantangan
generasi muda sekarang ini dengan berpegang pada prinsip-prinsip:
kedaulatan rakyat, demokrasi dan kemaslahatan rakyat banyak.
Lembaga-lembaga adat sama sekali tidak boleh digunakan untuk ambisi-ambisi
politik yang menafikan kedulatan rakyat sebagai lawan dari Daulat Tuanku,
apalagi menginjak injak tata-cara demokrasi modern yang beradab-melembaga
yang pada akhirnya hanya menyengsarakan rakyat kecil.
Reaktualisasi dari relevansi lembaga, adat ini terutama ditujukan dan
diperuntukkan bagi generasi muda.
4. Mendekati dan memahami aspirasi dini kebutuhan generasi muda.
Sebagai propinsi yang baru dibentuk, Maluku Utara di masa depan akan
membutuhkan SDM yang tidak saja terampil dan berwawasan tetapi juga
mempunyai akar-budaya yang mantap dengan kualitas kepribadian yang unggul.
Untuk menghindari bencana serupa seperti yang terjadi di Ambon, maka
tenaga-tenaga muda harus didekati dan dipahami aspirasi dan kebutuhan
mereka agar mereka merasa diperlukan dan dihargai dan bukannya dicampakkan
sebagai sampah masyarakat, tetutama di kota-kota.
5. Bersama-sama Pemda mensukseskan Pemilu Lokal.
Perlu disadari bahwa dalam rangka merealismikan cita-cita bersama rakyat
Maluku Utara untuk menjadi propinsi sendiri, masyarakat harus membantu
penciptaan ketenangan dan kedamaian sehingga Pemilu Lokal dan pamilihan
Gubernur definitif dapat berjalan dengan baik, beradab dan bermartabat,
Cara cara memaksakan kehendak sendiri, apalagi dengan menggunakan kekerasan
fisik adalah cara-cara kanibal yang bukan saja harus ditinggalkan tetapi
juga dikutuk oleh hati-nurani kemanusiaan yang adil dan beradab.
6. Keadilan dalam menikmati berkah tambang emas.
Pihak Pemda dan pihak perusahaan pengelola tambang emas bersama-sama dengan
wakil-wakil rakyat perlu mencarikan cara terbaik yang adil bagi semua pibak
yang berminat di Maluku Utara dalam, mencicipi berkah tambang tersebut.
Solusi Jangka Panjang
Solusi jangka panjang ini adalah langkah-langkah yang perlu diambil baik
oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
1. Membangun prasrana yang menopang penggalian potensi daerah.
Yakni, pemerintah segera menyiapkan prasarana yang memadai agar para
investor dalam dan luar-negeri berminat untuk mananamkam modal mereka.
Potensi-potensidaerah berupa: kekayaaan maritim, pertambangan,
perkebunan dan pariwisata alama Adalah hal-hal yang perlu
diprioritaskan dalam hal ini
2. Membangun SDM penggali dan pengelola potensi daerah. Untuk tahap
awal pemerintah Propinsi dapat memanggil pulang putera daerah yang
bersedia pulang. Untuk jangka panjang perlu ada suatu upaya Pengadaan
SDM secara terencana, terarah dan sistematik.
3. Menegakkan keadilan distribusional kepada semua kelompok. Dari
waktu ke waktu perlu ada suatu pemantaunan yang berkesinambungan atas
kesempatan dan akses dan aset yang dipunyai oleh semua golongan yang
ada di Maluku Utara. Perlu dijaga agar tidak terjadi proses
marginalisasi dalam bidang ekonomi, pendidikan, birokrasi, wilayah
agama dan hukum. Pengalaman Ambon dapat menjadi pelajaran yang
berharga agar tidak diulangi Sambil menegakkan keadilan proporsional
antar kelompok, prinsip keunggulan obyektif (meritocracy) juga
perlahan-lahan diperkenalkan dan dilembagakan secara transparan.
4. Mendisain pola permukiman yang majemuk. Pola permukiman asli
yang cenderung bermukim berdasarkan suku dan agama perlu dibuyarkan
dengan memperkenalkan disain pola permukiman berdasarkan daya beli
sehingga akhirnya dapat tercipta suatu lingkungan pemukiman yang
majemuk terpadukan (integrated pluralism).
*)sesuai yang disampaikan luas di Kantor YLBHI, 14 Januari 2000
* Sosiolog UI