Silahkan Logo PDI-P di-klik
Selamat Tahun Baru Imlek 2551 !
From: "Ibrahim Bramijn" <herri@worldonline.nl>
To: <herri@worldonline.nl>
Subject: Kolom IBRAHIM ISA: Selamat Tahun Baru Imlek!
Date: Fri, 4 Feb 2000 23:03:24 +0100
Kolom IBRAHIM ISA---------------------------
Selamat Hari Raya IMLEK!
Xin Nian Hao! Konghei Fat Choi 2551 !
4 Februari 2000
Selamat Tahun Baru Imlek bagi bangsa kita yang keturunan atau yang etnik
Tionghoa. Ucapan selamat ini sesungguhnya juga berlaku untuk seluruh bangsa
Indonesia. Bukankah bangsa kita terdiri dari begitu banyak etnik atau
suku-bangsa? Terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan ataupun keyakinan?
Ada yang Islam. Jumlah ummat Islam Indonesia adalah yang mayoritas mutlak.
Syukur Alhamdulillah, yang beragama Islam di Indonesia bukan penganut Islam
"fundamentalis" seperti yang dikenal dengan nama Thaliban ala Afghanistan.
Ummat Islam kita bisa dengan harmonis hidup berdampingan dengan ummat
berbagai agama dan kepercayaan lainnya. Kalau tokh ada perselisihan yang
sampai kepada pertumpahan darah antara Islam dengan yang lain-lainnya, maka
hal itu terjadi biasanya akibat provokasi fihak-fihak yang ingin menarik
keuntungan dengan cara "menangguk di air keruh". Kemungkinan lainnya ada
fihak-fihak jahat yang ingin mengalihkan sasaran pada dirinya sendiri, yang
disebabkan oleh kejahatan-kejahatannya sendiri, lalu mencari kambing hitam,
dengan cara mencetuskan peristiwa dengan menggunakan isu sara.
Perselisihan atau bentrokan itu juga mungkin karena salah-faham
semata-mata. Bisa juga benar-benar disebabkan oleh individu yang "keblinger".
Besok adalah hari raya bagi ummat yang dalam penanggalan mengikuti hitungan
lunar kalender. Kita bersyukur karena di negeri kita, dewasa ini, di bawah
pemerintah baru Gus Dur dan Megawati, hari raya Imlek insya-Allah akan
dirayakan dalam suasana politik yang baru. Dalam suasana yang harmonis,
bebas dan demokratis.
Kalau tidak salah, perayaan hari Imlek itu tidak ada hubungan langsung
dengan agama, kepercayaan ataupun keyakinan.Cara penanggalan lunar ini sudah
lama diikuti oleh bangsa Tionghoa. Beda dengan penanggalan Islam, Hijrah.
Yang berlatar belakang perjuangan Nabi Muhammad SAW. Juga tidak sama dengan
tahun Masehi. Imlek sangat erat hubungannya dengan masalah pengurusan
pertanian. Dalam bahasa Inggris Imlek disebut "Spring Festival", artinya
festival musim semi. Dalam masalah pengurusan usaha bidang pertanian, musim
semi adalah musim dimulainya penyebaran bibit semai. Ini khusus berlaku
bagi wilayah di bagian bumi ini yang mengalami empat musim dalam setahunnya.
Tahun Baru Imlek kali ini adalah Tahun Baru Naga. Tahun yang akan
mendatangkan keuntungan. Bahkan ada yang bilang kali ini adalah Tahun Baru Naga Emas.
Sampai dimana kebenarannya tambahan "emas" itu, bisa diteliti lebih lanjut.
Pada hari Imlek itu orang-orang Hok Kian menyatakan "_Konghei Fat Choi",
artinya, kalau tidak salah, "semoga dapat untung", dilimpahi kebahagiaan.
Begitulah adanya. Memang lain dengan misalnya ummat yang menganut agama
Kristen. Umumnya, ketika saling berkomunikasi pada hari raya itu,
orang-orang Kristen saling mengharapkan "Selamat Tahun Baru", sekaligus
menyatakan harapan terbaik untuk hari depan. Sedangkan yang Islam, kecuali
menyatakan selamat Lebaran, juga "memohon maaf lahir bathin". Saling
memaafkan. Pada bangsa kita semua itu ada. Ada yang Islam, ada yang Kristen,
ada yang Hindu Bali, ada yang Budis, ada yang etnik Tionghoa, yang menganut
Konghucuisme. Maka untuk bisa hidup harmonis dan bersatu sebagai satu
bangsa, para "founding fathers" nasion kita ini meletakkan dasar dan
prinsip yang dipakukan dalam tiga kata "Bhinneka Tunggal Ika", "Berbeda-beda
tapi satu". Harmonis.
Kecuali menjungkir balikkan dan menyalahgunakan prinsip-prinsip hukum dan
keadilan, Orba juga telah membikin parinsip dan dasar Bhinneka Tunggal Ika
hanyalah tinggal kata-kata belaka yang tertera pada lambang negara Republik
Indonesia, Sang Garuda Pancasila. Di zaman mantan presiden Suharto, segala
yang "berbau" Tionghoa diwas-padai, diawasi, didiskriminasi dan "digencet".
Yang kaya, yang berada, bahkan yang kekayaannya biasa-biasa saja, diperas,
"digorok".. Diskriminasi yang paling kejam adalah diskriminasi politik dan
diskriminasi kultural. Orang-orang Indonesia yang berasal etnik Tionghoa
praktis direnggutkan dari kepribadian asal usul kulturnya. Nama Tionghoa
diganti dengan nama "Cina". Tujuannya tidak lain untuk menghina kaum etnik
Tionghoa dan menyerang Republik Rakyat Tiongkok. Sudahlah ngaku saja, jangan
cari macam-macam dalih yang tak masuk akal , untuk memulas politik rasialis
dan diskriminasi dari Orba. Politik rasialis dan diskriminasi Orba itu
diberlakukan a.l. dengan melarang sekolah-sekolah berbahasa Tingohoa,
menghapuskan nama-nama Tionghoa pada toko-toko dsb. Sampai-sampai nama
orang etnik Tionghoa itupun ditekan agar diganti dengan nama yang
kedengarannya "pribumi", dengan dalih demi "asimiliasi". Demi tujuan politik
asimiliasinya, berbahasa Tionghoa tidak boleh. Dan yang paling kejam dan
biadab adalah dipasangnya pagar politik dan administratif untuk memaksa
bangsa Indonesia yang berasal etnik Tionghoa itu, berada diluar kehidupan
ilmu, kebudayaan, pengetahuan, birokrasi serta keamanan dan pertahanan.
Tidak heran, selama rezim Orba, hanyalah dalam kabinet terakhir Suharto ada
menteri yang berasal etnik Tionghoa. Itupun "tokoh" macam apa pula beliau
itu. Dalam angkatan bersenjata maupun kepolisian saya tidak ingat ada
seorang jendral yang "non-pri".
Syukur Alhamdulillah, pemerintah Gus Dur/Megawati telah secara formal
menghentikan politik dan praktek diskriminasi rasial anti-etnik-Tionghoa
tsb. Peraturan-peraturan dan instruksi yang menghalalkan praktek
diskriminasi rasial itu telah dicabut. Apakah masih ada undang-undang,
ketetapan, peraturan ataupun instruksi yang rasialis dan diskriminatif yang
dikeluarkan oleh pemerintah Orba, atau bahkan oleh pemerintah-pemerintah
sebelumnya, itu perlu diteliti dan dipelajari bila kita berniat
sungguh-sungguh hendak mengakhiri politik dan praktek diskriminasi rasial di
Indonesia. Bagaimana kongkritnya dalam praktek keadaan sesudah secara resmi
semua yang diskriminatif dan rasialis itu dihapuskan, hal itu merupakan
suatu proses. Suatu proses perjuangan yang harus dilalui dengan konsisten.
Kita tahu antara teori dengan praktek selalu ada jarak. Terkadang itu
sesuatu yang wajar, tapi pun tidak jarang terjadi keseretan dalam proses
tsb, karena memang ada kekuatan yang hendak merintangi penghapusan kultur
diskriminasi dan rasialisme, yang motifnya adalah kepentingan golongan atau
individu semata..
Ada satu soal besar yang harus ditarik ke depan, dalam rangka kita dengan
kesungguh-sungguhan yang maksimal hendak melanjutkan membina nasion
Indonesia serta memperkokoh dan menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negeri. Disini harus secara jujur dan terbuka kita buka hati sanubari kita
semua, apakah itu suku Aceh, Batak, Minang, Bengkulu, Melayu, Palembang,
Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Dayak, Kalimantan,
Bugis, Menado, Gorontalo, Maluku, Papua, Timor, Lombok, keturunan etnik
Arab, Eropah dan Tionghoa, dan masih banyak lagi. Apakah kita, dalam praktek
kehidupan sehari-hari sudah benar-benar masing-masing saling memperlakukan
suku lainnya atas dasar prinsip sama derajat, tidak peduli itu suku apa?
Kalau belum, maka soalnya masih tetap besar.
Sehubungan dengan Hari Raya Imlek, maka saya ingin mengambil contoh-soal
masalah, yaitu sikap kita, yang asalnya bukan etnik Tionghoa, sikap
pemerintah Indonesia secara umum, terhadap peranan etnik Tionghoa dalam
perjuangan pembinaan nasion Indonesia, dalam perjuangan untuk kemerdekaan
nasional dan dalam perjuangan untuk menegakkan demokrasi dan negara hukum?
Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa dari kalangan etnik Tionghoa, juga
terdapat pejuang-pejuang yang tangguh, seperti mendiang Siauw Giok Tjhan
yang sejak mudanya telah memberikan segala-galanya demi kemerdekaan dan
keadilan sosial di Indonesia. Beliau adalah tokoh patriotik yang sampai
akhir hidupnya berjuang untuk Indonesia, bangsa dan negerinya. Dengan
sepenuh jiwa raganya Siauw berjuang untuk membina bangsa kita, sebagai suatu
nasion, membangun suatu kesatuan Indonesia yang non-rasialis dan demokratis,
antara lain dalam kegiatannya sebagai pemimpin Baperki. Beliau pernah
menjabat menteri negara dalam kabinet Indonesia zaman Republik Indonesia
masih terlibat dalam perjuangan politik dan fisik melawan Belanda. Pernah
menjadi anggota DPR, dan sering masuk keluar penjara karena kegiatan
politiknya membela yang benar. Terakhir dipenjarakan oleh Orba tanpa proses
pengadilan apapun. Akhirnya terpaksa hidjrah ke Eropah dan meninggal di
Belanda.
Seyogianya bangsa dan negara kita dalam era reformasi dan demokrasi dewasa
ini, sudah siap dan mampu memberikan tempat yang sewajarnya kepada salah
seorang pejuangnya yang terkemuka, seperti Siauw Giok Tjhan. Siauw Giok
Tjhan, pejuang sejati yang tanpa pamrih apapun tidak pernah absen dalam
perjuangan.. Kita seharusnya sudah dewasa untuk bisa memberikan tempat yang
terhormat kepada seorang pejuang seperti Siauw Giok Tjhan, sebagai salah
serorang pahlawan bangsa kita. Jenazah ataupun abu beliau patut ditempatkan
di Taman Pahlawan nasional di Kalibata. Bisakah bangsa dan negeri ini
memberikan perlakuan yang wajar demikian itu kepada almarhum Siauw Giok
Tjhan? Sudah tiba masanya untuk menyelami hati nurani kita, dan mengambil
sikap yang adil dan luhur mengenai masalah tsb.. Hanyalah nasion yang
berjiwa besar yang bisa menghargai pahlawan-pahlawan nasionalnya sendiri.
Tidak hanya mendiang Siauw Giok Tjhan. Kita masih ingat Mr. Yap Thiam
Hien,advokat terkanal, patriot, pejuang dan penegak hukum yang tanpa pamrih,
berani dan ulet. Juga beliau adalah salah seorang pahlawan nasional kita.
Kita masih ingat nama-nama pejuang nasional lainnya yang sudah tiada,
seperti Lim Koen Hian "pendiri Partai Tionghoa Indonesia, PTI, 1932" Tan Po
Goan "mantan Menteri RI"; Tan Ling Djie, mantan anggota DPR; Tjoa Sek In
"mantan wakil Indonesia di PB", Ong Eng Die "mantan Menteri Keuangan RI",
Oei Tjoe Tat mantan Menteri Negara. Kita juga masih mengingat usaha
nasional di bidang penerbitan yang dilakukan oleh Mas Agung. Pasti masih ada
yang belum disebut di sini tokoh-tokoh pejuang nasional kita yang berasal
etnik Tionghoa. Diantara pejuang-pejuang Republik Indonesia dan yang ambil
bagian aktif dalam pembinaan nasion dan negara RI, yang masih ada diantara
kita misalnya, Go Gien Tjwan, mantan Direktur Kantor Berita Nasional ANTARA,
anggota Pengurus Baperki dan mantan anggota Konstituante RI. Kesemuanya
mereka-mereka telah memberikan sumbangan penting dalam perjuangan kita untuk
membina nasion Indonesia dan membela kemerdekaan RI.
Hanyalah dengan secara tepat memperlakukan pejuang-pejuang Indonesia yang
berasal etnik Tionghoa, barulah kita bisa mengatakan bahwa kita adalah suatu
nasion yang mendewasa, yang dengan konsisten bertindak sesuai dengan prinsip
"Bhineka Tunggal Ika".
Itulah yang hendak saya kemukakan dan minta pertimbangan pembaca dalam
suasana merayakan Hari Raya Imlek. Harapan dalam suasana Imlek kali ini,
betul-betul akan punya arti yang berbobot, bila pemerintah Gus Dur/Megawati
sekarang ini mempertimbangkan harapan tsb. serta bertindak sesuai dengan
harapan itu.
SELAMAT TAHUN BARU IMLEK.
----- End of forwarded message from Ibrahim Bramijn -----